Pantai
yang membentang di Rupat Utara disebut juga Pantai Pasir Panjang, karena
bentuknya memanjang sekitar 13 kilometer. Pantai tersebut masuk wilayah
Teluk Rhu dan Tanjung Punak. Kemudian sampai ke Desa Sungai Cingam yang
masuk wilayah Rupat bagian selatan. Kalau sampai ke ujung Selat Morong,
kata penduduk setempat, panjangnya mencapai 28 kilometer. Namun
terputus oleh sungai-sungai kecil.
Untuk menuju pantai ini sebenarnya tidak begitu sulit. Dari Dumai ada speedboat jurusan
Tanjung Medang, ibukota Kecamatan Rupat Utara. Dermaganya di Pelabuhan
Rakyat (Pelra) Jalan Budi Kemuliaan, Dumai. Dalam sehari ada dua trip,
yakni pukul 09.00 dan 15.00 WIB. Ongkosnya Rp 110 ribu dengan waktu
tempuh sekitar 2,5 jam. Speedboat ini sebelum sampai di pelabuhan Tanjung Medang singgah dulu di pelabuhan Desa Titi Akar.
Setelah
bertolak dari Titi Akar menuju Tanjung Medang, perlahan-lahan potensi
wisata Pulau Rupat mulai terlihat. Pertama adalah Pulau Babi, pulau
tanpa penghuni yang menyimpan cerita menakutkan. Konon pulau tersebut
dulunya merupakan tempat pembantaian anggota dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
”Katanya
pulau itu tempat pembuangan orang-orang PKI dari berbagai daerah. Tak
ada penghuninya, mungkin tak ada yang berani,” kata Rafik, seorang guru
di Teluk Rhu, Tanjung Medang, saat berbicang dengan RiauBisnis.com di dalam speedboat.
Saat speedboat melintasi
pulau itu dari jarak beberapa ratus meter, terlihat pasir putih
menghampar di salah satu sisinya. Dari jauh, keindahannya seakan
menutupi cerita seram yang menyertai keberadaan pulau itu.
”Tidak tahu kenapa disebut Pulau Babi. Tapi katanya dari atas bentuknya terlihat seperti babi,” kata penumpang lainnya.
Tak
jauh dari Pulau Babi, terlihat ada pulau sangat kecil yang juga
dikelilingi pasir putih. Bahkan karena laut sedang surut, dari jauh
terlihat pulau itu sebenarnya menyatu dengan Pulau Babi. ”Yang kecil tu
namanya Pulau Beting Aceh. Kata yang pernah ke sana memang pasir
putihnya sangat bagus dan landai,” Rafik kembali memberi penjelasan.
Tak
lama kemudian terlihat pulau lainnya, yakni Pulau Beruk. ”Tapi ada juga
yang menyebut Pulau Pak Haji,” kata Rafik. Tak berapa lama setelah itu,
kapal melewati sungai menuju pelabuhan Tanjung Medang. Dari pelabuhan
menuju pantai terdekat, Teluk Rhu, bisa ditempuh dengan sepeda motor
selama 20 menit.
Tim
ekspedisi tiba di Teluk Rhu sekitar pukul 14.00 WIB, saat itu air
sedang surut. Terlihat hamparan pasir putih memanjang nyaris tak
terlihat ujung pangkalnya. Saat surut hamparan pasir yang terlihat
landai lebarnya mencapai 50-an meter. Pasirnya putih dan padat. Bahkan
pemuda setempat biasa menggunakannya untuk balapan sepeda motor.
Di
Teluk Rhu, ujung pantai ini ditandai dengan adanya menara suar. Namun
sepanjang beberapa ratus meter dari menara, lanskap pantai tak lagi
alami. Pemerintah sudah membangun turap beton dilapisi pecahan batu alam
untuk menangkis ombak dan mengurangi abrasi. ”Kalau tidak dibangun
turap, rumah-rumah kami bisa tenggelam dimakan ombak,” kata penduduk
setempat.
Namun pantai lainnya masih terlihat alami. Batas
antara kawasan laut dan darat terlihat jelas, hanya dibatasi pasir dan
rerumputan. Pepohonan kelapa yang berdiri kokoh di antaranya melengkapi
keindahan pantai, yang disebut-sebut lebih indah dari pantai di Pulau
Bali. Sisa-sisa air pasang terlihat dari sampah-sampah kayu yang
tertinggal di bibir pantai. Beberapa kapal nelayan terlihat ditambatkan.
Kalau
air laut sedang surut, dari Teluk Rhu sampai ujung pantai yang ada di
Tanjung Punak dapat dilewati sepeda motor. Namun saat RiauBisnis.com
hendak menyusurinya, cuaca tidak bersahabat. Hujan berkali-kali turun
hingga pukul 17.00 WIB. Air pun kemudian pasang dan perjalanan
dilanjutkan melalui darat.
Tentang
rencana pembangunan kawasan wisata yang tak juga terealisasi,
masyarakat punya cerita sendiri. Masyarakat umumnya berpendapat
pemerintah belum serius menanganinya. Padahal beberapa penduduk yang RiauBisnis.com temui sepakat mendukung program tersebut.
Menurut
Idrus (70), warga Desa Teluk Rhu, sebenarnya keberadaan pantai tersebut
sudah diketahui banyak orang. Hal ini terlihat dari banyaknya
pengunjung pada waktu-waktu tertentu. Seperti saat tahun baru, libur
nasional, dan paling ramai pada Rabu terakhir di Bulan Safar yang biasa
disebut Mandi Safar. Kalau dilihat di kalender 2010, Mandi Safar jatuh
pada tanggal 10 Februari 2010.
Pada momen seperti itu, kata Indrus, kawasan pantai akan dipadati oleh pengunjung. Namun
umumnya datang dari Pulau Rupat itu sendiri. Selebihnya dari Dumai,
Bengkalis dan daerah lainnya. Kalau turis asing ia belum pernah
melihatnya.
“Kebanyakan
memang dari Pulau Rupat, ada juga yang dari Dumai dan daerah lainnya.
Tapi selama ini kami memang belum pernah lihat ada orang asing. Kalaupun
ada paling orang-orang Cina, itu pun memang asal dan tinggalnya di
Pulau Rupat juga,” imbuhnya.
Sedangkan
pada hari-hari biasa, pantai tersebut kelihatan kosong. Paling yang
datang hanya masyarakat sekitar, yang bekerja baik sebagai nelayan
maupun pencari pasir di pantai. Kadang juga ada anak-anak sekolah yang
hobi mandi di pantai.
Saat RiauBisnis.com di sana, pengunjung yang terlihat hanyalah pemuda setempat yang bermain balapan sepeda motor dan belajar free style.
Ada juga beberapa anak sekitar yang mandi sambil bermain-main dengan
ombak. Karena itulah tim ekspedisi terlihat aneh bagi masyarakat
sekitar. Karena mereka memang jarang melihat orang luar main ke pantai.
Padahal
menurut Idrus, kalau diberdayakan pantai tersebut bisa memberikan nilai
tambah bagi masyarakat sekitar. Selama ini mereka umumnya bermata
pencaharian sebagai peladang atau nelayan. Sedangkan yang bergerak pada
sektor jasa, khususnya pariwisata, bisa dibilang belum ada. Paling hanya
pengelola Wisma Afira di bagian pantai yang lain [Baca: Sepetak Asa di
Wisma Tua].
“Inilah
yang kita harapkan dari pemerintah. Kalau ada yang datang setiap
harinya tentu masyarakat juga yang diuntungkan. Minimal kita bisa
berdagang atau yang lainnya,” kata Idrus.
Ada
beberapa persoalan yang menurutnya hingga kini belum bisa diatasi oleh
pemerintah. Seperti jalur transportasi yang belum memadai. Sehingga
menyulitkan masyarakat luar untuk datang ke Pulau Rupat. Selain itu
sarana penunjang juga belum ada, seperti penginapan, saat ini hanya ada
satu wisma.
Padahal
kalau akses ke pulau tersebut bisa lebih baik, Idrus yakin akan semakin
banyak orang yang datang ke Rupat Utara. Tidak hanya pada saat-saat
tertentu saja. “Bagaimana orang bisa datang kalau mau ke sini saja masih
bingung,” sindirnya.
Selain
itu menurutnya, persoalan air bersih dan listrik juga menjadi kendala
utama di sana. Pemerintah menurutnya masih belum bisa mengatasi hal
tersebut. Kalau pun ada yang mau membangun hotel atau wisma, harus
menggunakan pembangkit listrik sendiri. Hal ini tentunya membutuhkan
biaya mahal.
“Sederhana
saja kalau menurut kami. Kalau memang pemerintah mau mengembangkan
pantai ini, masalah-masalah itu harus diatasi dulu. Baik itu akses
jalannya, air bersih ataupun listrik,” ujarnya.
Idrus
meyakinkan bahwa masyarakat di Rupat Utara mendukung penuh apapun yang
dilakukan pemerintah. Khususnya kebijakan pengembangan kawasan pantai.
Namun pemerintah diminta tidak mengabaikan budaya lokal yang sudah lama
mengakar.
Sebagai
salah satu orang yang dituakan di desa tersebut, ia bisa menjamin kalau
masyarakat terbuka terhadap masuknya kebudayaan asing di Rupat. Kalau
memang pantai tersebut dipenuhi turis-turis asing dengan busana minim,
hal tersebut menurutnya sudah menjadi konsekuensi.
“Kalau
seperti itu kan memang sudah menjadi hal yang biasa dan kita tidak bisa
menolaknya. Namun kita tetap minta agar suasana sopan juga bisa lebih
diperhatikan,” harapnya.
Terakhir
Idrus meminta, pemerintah juga melatih pemuda setempat agar bisa
menjadi pemadu wisata. Sehingga kalau ada wisatawan yang datang,
masyarakat siap menerimanya. “Kalau memang pemerintah mau, masyarakat
juga pasti akan mau,” katanya.
Hal
senada juga dikatakan Mat Jaman (65), didampingi anaknya Kamaruzzaman
(34) dan Zainuddin (39) tetangganya. Mereka sama-sama sepakat, kalau
pemerintah mengembangkan kawasan wisata di desa tersebut. Namun mereka
meminta pemuda setempat dilibatkan dalam industri pariwisata.
”Supaya anak-anak mudanya tidak menganggur. Kalau menganggur kan nanti bisa
tidak aman, ada yang jahatlah dan sebagainya. Tapi kalau mereka diberi
kesempatan menjadi pemandu, pedagang dan lain-lain, yang penting
bekerja, pasti mereka senang,” ujar Mat Jaman.
Mereka
juga bersedia kalau ada konsep pariwisata yang memberdayakan
masyarakat. Misalnya penduduk setempat menjadikan rumahnya sebagai home stay bagi
wisatawan. Atau memanfaatkan perahu nelayan untuk berwisata ke laut.
”Kami semua setuju kalau dilibatkan seperti itu. Masyarakat sini
mudah-mudah, tapi ya itu tadi, tolonglah kehidupan kami juga
diperhatikan,” ujarnya.
Nuryancik
(80), pemilik Wisma Afira, satu-satunya wisma di sana, juga berharap
pemerintah segera merealisasikan pengembangan wisata di Rupat Utara.
Tapi sebelum benar-benar menjadi kawasan wisata, ia berharap pemerintah
lebih dulu mendidik masyarakat untuk masuk ke bisnis tersebut.
Dia
mencontohkan, bagaimana cara menyambut wisatawan yang datang. Kemudian
bagaimana cara menjadi pemandu wisata yang baik, membuat suvenir dan
sebagainya. Termasuk membina kesenian tradisional sebagai hiburan buat
wisatawan.
”Masyarakat atau anak-anak muda di sini harus dibina oleh pemerintah. Contohnya kebudayaan dan kesenian. Kalau
musik-musik modern kan di mana-mana ada. Wisatawan kan, pengalaman
Bapak di Malaysia, biasanya mencari seni-seni tradisional. Kita kan
punya seni Melayu, tapi anak-anak kita belum tahu bagaimana cara
mainnya. Mereka itu harus dibina,” tuturnya.
Minim Informasi
Minimnya informasi dan infrastruktur Pulau Rupat juga dibenarkan beberapa pengunjung yang RiauBisnis.com
temui. Ilham (19), pelajar SMKN 2 Dumai mengaku baru pertama kali
berkunjung ke sana. Meski letih di perjalanan, dia senang melihat
keindahan pantai tersebut. Sebelumnya ia hanya mendengar pantai tersebut
dari teman-teman sekolahnya yang banyak berasal dari Pulau Rupat.
”Ini
memang pertama kali datang. Tadi memang sempat kesal juga karena
jalannya sangat buruk. Kebetulan kita datang ke sini dibawa langsung
oleh teman sekolah yang memang berasal dari sini. Tapi saat sampai di
pantai, kita senang juga,” ujarnya.
Ilham
mengaku tidak akan berani datang langsung ke Pulau Rupat tanpa ditemani
oleh teman-teman yang asli daerah itu. Menurutnya, selain jaraknya yang
cukup jauh, jalan-jalan di Pulau Rupat juga sangat membingungkan.
Apalagi tidak adanya petunjuk jalan.
Amin (19), pelajar satu sekolah dengan Ilham juga merasa takjub melihat keindahan pantai tersebut. Ia
pun baru pertama kali datang ke pantai Rupat Utara. “Saya kan berasal
dari Ujungbatu (Rokan Hilir), kebetulan sekolah di Dumai. Karena belum pernah ke pantai makanya senang bisa diajak ke sini. Apalagi saya lihat pantainya juga masih alami,” ungkapnya.
Sebelum
mendapat cerita dari teman-teman sekolah yang memang berasal dari
Rupat, Amin mengaku tidak pernah tahu keberadaan pantai tersebut. Untuk
itu ia sangat mengharapkan pemerintah bisa lebih mempromosikan pantai
itu
Bahkan
rencananya dia bakal mengajak teman-teman sekolah lainnya ke Pulau
Rupat. Menurutnya, kalau bisa mereka melakukan kegiatan ekstrakulikuler
di sana. Seperti berkemah maupun melakukan kegiatan luar ruang lainnya.
“kami kira tempat ini juga bagus untuk kegiatan seperti itu,” imbuhnya.
Sama
seperti pendapat sebelumnya, Andri (18), Sadikin (19) dan Ishak (19)
yang ikut dalam rombongan siswa SMKN 2 Dumai itu juga mengungkapkan
keterjutannya terhadap keberadaan pantai tersebut. Bahkan mereka
berminat datang lagi ke pantai itu lagi. “Kalau ada liburan, kita pasti
ke sini lagi,” ujar Andri mewakili teman-temannya.
Bahkan
di mata para pelajar itu, pantai Rupat Utara sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi tempat wisata unggulan di Riau. Asalkan pemerintah
mau memperbaiki sarana dan prasarana yang ada.
“Harapan kita tentunya pengembangan pantai ini bisa dilakukan secepatnya. Apalagi kita di sini maupun di Dumai sangat
minim sekali objek wisata yang bagus. Dengan adanya pantai ini tentu
orang akan berbondong-bondong datang ke sini,” ungkapnya.
Mereka
juga mengaku siap memberikan informasi keberadaan pantai tersebut
kepada keluarga, masyarakat, maupun sekolahnya. Hal ini menurut mereka
bakal berguna bagi masyarakat luas. “Setelah kami akan semakin banyak
yang datang ke sini,” ujar Amin.
Bertabur Potensi
Lanskap
pantai dengan deretan nyiur yang melambai sudah biasa ditemukan. Namun
sangat sedikit pantai yang keindahannya dilengkapi dengan jajaran pohon
cemara. Itulah yang RiauBisnis.com temui di Pantai Lohong, Desa
Sungai Cingam, Kecamatan Rupat. Di sepanjang pantai, dedaunan cemara
tampak melambai ditiup angin. Sayangnya, saat RiauBisnis.com di sana pada Minggu (3/1/2010) pagi, air laut sedang pasang. Sehingga hanya sedikit keindahan pasir putih yang bisa diintip.
Pantai
ini tak kalah indah dengan pantai di Rupat Utara. Satu hal lagi yang
menyamakan, dua-duanya sama-sama jarang dijamah pengunjung. ”Paling
kalau akhir pekan, liburan panjang dan malam tahun baru ramai didatangi
orang. Tapi paling-paling ya orang-orang pulau ini juga pengunjungnya,”
ujar Ahmad Zamroi, yang tinggalnya hanya 3 kilometer dari pantai.
Sebenarnya,
malamnya Ahmad hendak mengajak tim ekspedisi ke dua pantai di kawasan
tersebut, satu lagi pantai di Desa Makeruh. Apalagi saat itu sedang
bulan purnama. Namun karena cuaca tak mendukung, sedang musim hujan,
niat itu tak kesampaian. Sebab jalanan becek tak bisa dilewati
kendaraan. Lagi pula bulan pun tertutup mendung.
”Kapan-kapan
mungkin kita bisa ke sini lagi. Kalau lagi terang bulan (purnama) dan
cuaca cerah, pantai-pantai di sini juga sangat indah,” ujarnya. Bahkan,
setelah ada akses jalan, banyak orang lebih menyukai pantai di kawasan
tersebut.
Menurut
Amizan (17), pemuda Desa Cingam yang ikut mengantar tim ekspedisi,
sebelumnya ritual Mandi Safar hanya di lakukan di Rupat Utara. Tapi kini
semua kampung yang dekat pantai melakukan hal tersebut.
”Biasanya jadi tempat keramaian, ada hiburan, lomba dan lain lain. Mungkin
dulu orang mikir coba-coba buat (Mandi Safar) di kampung masing-masing,
termasuk di Lohong. Ternyata pengunjungnya juga ramai. Jadi
masing-masing kampung buat sendiri, daripada pergi jauh-jauh ke Rupat
Utara. Ternyata antusias masyarakat bagus, jadilah Safaran ini dilakukan
di banyak kampung,” tuturnya.
Kalau
cuaca cerah, dari pantai Makeruh dan Lohong, daratan Malaysia juga
terlihat. Karena posisinya juga berhadap-hadapan dengan negeri jiran
tersebut. ”Pantainya juga lebih indah, kalau di depan sana langsung
nampak Malaysia,” kata Amizan, yang mengaku kerap main ke dua pantai
tersebut, Makeruh dan Lohong. Meski berada di utara Selat Morong, namun
keduanya masuk wilayah Rupat bagian selatan.
Ahmad
Zamroi juga membenarkan kalau ritual Mandi Safar juga mulai digelar di
pantai-pantai yang masuk wilayah Rupat selatan. ”Bahkan banyak orang
Dumai dan Rupat yang pergi Mandi Safar ke sini. Ramai sekali, tak kalah
dengan di Rupat Utara. Mungkin karena ke sini lebih mudah, bisa pakai
sepeda motor dan balek hari,” katanya.
Dari
penuturan Sumarto (55), warga Desa Sungai Cingam, dirinya pernah
beberapa kali mencari ikan pada malam hari di kawasan pantai tersebut.
Di salah satu bagian pantai, ada pasir yang menyala, seperti mengandung
fosfor. Namun tak banyak yang tahu fenomena tersebut, sebab tidak semua
bagian pantai pernah dijamah orang, terutama pada malam hari.
“Pasirnya
mengeluarkan cahaya. Pernah saya ambil dan saya bandingkan dengan pasir
biasa, yang menyala itu lebih berat. Saya tak tahu zat apa yang
dikandungnya,” ujarnya kepada tim ekspedisi.
Ia
pun membenarkan bahwa pantai yang ada di kawasan tersebut baru-baru ini
saja ramai dikunjungi orang. Dulu, sebelum ada akses jalan menuju
pantai, paling hanya pencari ikan yang melintasi kawasan tersebut. Itu
pun tak banyak, karena di sekitarnya masih hutan belantara.
Dari pengamatan singkat RiauBisnis.com,
pantai tersebut ujungnya berada di sebelah utara Selat Morong. Sebab
dari selat ke selatan, pantai sudah berlumpur. Bisa dibayangkan
bagaimana besarnya potensi tersebut, bila garis pantai berpasir putih
memang memanjang mulai dari Selat Morong hingga ke Teluk Rhu.
Namun
berbeda dengan pantai di Rupat Utara, pantai Lohong di Cingam ini jauh
dari permukiman penduduk. Rumah penduduk paling dekat dengan pantai
sekitar 1,5 kilometer. Untuk menuju pantai tersebut, setelah melewati
jalan beton pengunjung harus lewat jalan beko sekitar 1 kilometer. Kalau
sedang hujan, jalan itu sulit dilalui sepeda motor. Sebelum sampai ke
pantai, di kiri jalan terlihat hamparan sawah dengan padi yang mulai
menguning. Sedangkan di kanan jalan, terdapat kebun kelapa sawit yang
baru ditanam. Sayangnya tim ekspedisi tak sempat menjamah kemolekan pantai Makeruh.
Di Desa Sungai Cingam pun, RiauBisnis.com
hanya sekitar 20 menit mengeksplorasi keindahan pantai Lohong. Selain
kombinasi pasir putih dan jajaran pohon cemara, tak ada lagi yang bisa
dinikmati di pantai itu. Sebab di sana hanya ada dua kursi kayu, yang
mungkin dibuat warga setempat, untuk pengunjung. Namun banyaknya sampah
plastik di rerumputan yang tumbuh liar di sela-sela pohon cemara,
membuktikan kalau pantai ini ramai dikunjungi pada malam pergantian
tahun kemarin.
Akses menuju pantai ini, dari Dumai ada speedboat jurusan Selat Morong yang berangkat satu kali sehari pada pukul 15.00 WIB. Speedboat ini
berangkat dari Selat Morong pukul 09.00 WIB. Kalau berangkat dari Dumai
ada dua pelabuhan yang disinggahi, pertama pelabuhan Sungai Cingam dan
terakhir pelabuhan Pangkalan Nyirih. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam. Di
Dumai pelabuhannya sama dengan speedboat ke Tanjung Medang, di Pelra Jalan Budi Kemuliaan.
Berbeda
dengan pantai di Rupat Utara, di pantai ini tidak ada satu pun
penginapan. Kalau ada wisatawan yang ke sini, paling menginap di
rumah-rumah penduduk. Akses transportasi publik juga tidak ada, hanya
ojek sepeda motor. Menuju pantai ini sebenarnya bisa dilakukan melalui
jalan darat. Rutenya dari Dumai naik kapal roro ke Tanjung Kapal, Rupat
bagian selatan. Lalu dilanjutkan dengan jalan darat ke Pangkalan Nyirih.
Namun
karena jembatan yang dibangun Pemkab Bengkalis belum juga selesai,
melewati Selat Morong yang lebarnya sekitar 150 meter itu, hanya bisa
menggunakan pompong. Tapi lewat darat pun hanya bisa menggunakan sepeda
motor. Sebab jalan yang ada di Pulau Rupat belum bisa dilewati mobil.
Kabarnya kalau jembatan tersebut sudah jadi, baru dilanjutkan dengan
perbaikan jalan sehingga bisa dilewati mobil. Tapi entah kapan. (*)